Oleh: Ilhamni
Kita sering mendengar atau pernah mengucapkan kata amanah. Amanah dalam keluarga, amanah dalam bekerja, amanah dalam pendidikan dan bisa jadi amanah-amanah lainnya. Dalam konteks politik saat ini, kita juga sering mendengar kata amanah. Penulis mencoba melihat amanah dalam konteks politik atau pemilihan umum yang akan diadakan hari Rabu 14 Februari 2024, dengan berangkat dari sebuah analisis terhadap ayat yang terdapat dalam Alquran, Surat al-Nisa’ ayat 58.
Merujuk Syekh Sya’rawi, “amanah merupakan hak-hak orang lain yang terletak pada diri anda dan anda dipercayai untuk menjaganya. Jika anda ingin, maka anda jaga, jika tidak maka anda bisa saja tidak melakukannya”. Dengan demikian ada tiga unsur penting dalam amanah yaitu pertama yang mempercayakan/menitipkan sesuatu, kedua sesuatu yang dipercayakan/dititipkan (dinamai amanah), ketiga yang dipercayai/dititipi sesuatu.
Baca juga:
- Wajib Coba!! Daftar Rumah Makan Terenak di Kota Padang
- 3 Pilihan Hotel Bintang 4 Terbaik di Kota Bukittinggi
Dalam QS al-Nisa: 58 yang terjemahnya sebagai berikut: Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan (berbagai) amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik Yang memberi pengajaran kepada kamu. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.
Ini bukan satu-satunya ayat yang berbicara tentang amanah, akan tetapi mendapat perhatian khusus dari penggiat tafsir, karena ia berisi perintah khusus untuk menjalankan amanah dan apabila dilihat dari susunan surat dan ayat, maka ayat ini termasuk ayat yang awal berbicara tentang amanah.
Menjalankan amanah merupakan perintah dan ajaran Tuhan serta diwajibkan bagi setiap pemeluknya. Amanah bisa dalam bentuk hak Allah, hak manusia lain atau hak diri sendiri. Seseorang harus menjamin, memelihara dan menjalankan amanah/titipan yang dialamatkan pada dirinya bisa saja dalam bentuk perkataan, perbuatan (yang harus dilaksanakan) atau sesuatu keyakinan (yang harus dianut).
Amanah dalam konteks politik bisa memiliki arti yang luas. Amanah juga sangat erat dengan berbagai aktivitas kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, orang lain bahkan kepentingan diri sendiri. Orang yang menjalankan apa yang dipercayakan kepadanya disebut pemelihara amanah. Sedangkan orang yang melanggar disebut berkhianat. Secara etika beragama, Tuhan akan meminta pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat. Artinya amanah dalam pelaksanaannya sangat bergantung pada dimensi terdalam manusia dan hati nurani. Hakimnya adalah suara hati.
Terdapat beberapa riwayat sahabat tentang sebab turun ayat amanah ini dan terdapat dalam berbagai versi. Namun pada dasarnya menginformasikan bahwa ketika Nabi Muhammad dengan umat Islam memasuki kota Mekkah pada tahun penaklukan Mekkah. Nabi Muhammad masuk ke dalam Kabah. Lalu ia mengambil kunci Kabah dari tangan Usman bin Thalhah bin Abd al-Dar seorang yang dipercayai sebagai pemegang kunci Kabah (ia masuk Islam beriringan dengan Khalid Bin al-Walid dan Amru Bin Ash), lalu Nabi membuka Kabah dan melakukan shalat dua rakaat di dalamnya, kemudian keluar.
Setelah itu, Nabi menyuruh Ali memanggil Usman Bin Thalhah kemudian ia menyerahkan kunci Kabah kembali kepadanya seraya berkata, “Ini kuncimu wahai Usman, hari ini adalah hari kebaikan dan hari menepati janji”. Umar bin Khattab menyampaikan bahwa ketika Rasulullah keluar dari Kabah, ia membaca ayat QS al-Nisa’ ayat 58 yang isinya tentang perintah menjalankan amanah dan berlaku adil.
Sejarah mencatat, ketika Rasulullah berhasil menaklukkan kota Mekkah yang berawal dari pelanggaran kaum Quraisy Mekkah terhadap perjanjian Hudaibiyah antara kaum Quraisy di Mekkah dengan umat Islam di Madinah. Nabi berhasil menaklukkan kota Mekkah tanpa peperangan untuk menghindari pertumpahan darah.
Meskipun kemenangan berada di tangan umat Islam, beliau tidak serta merta mengambil alih kunci Ka’bah sebagai tempat yang sangat disucikan umat Islam dari tangan Usman Bin Thalhah. Ia melihat bahwa tanggung jawab kunci Ka’bah dan pelayanan haji yang merupakan kepentingan publik adalah amanah yang diberikan oleh masyarakat. Ia mengembalikannya kepada Usman bin Thalhah sebagai pengemban amanah melalui perintah Allah. Jika ia ingin mengambilnya tentu itu adalah hal yang sangat mudah baginya.
Penafsir Ibnu Katsir, Muhammad Abduh, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa meskipun ayat ini diturunkan dengan sebab khusus tentang Usman bin Thalhah, namun maknanya berlaku umum terhadap siapa saja dan kapan saja. Amanah juga dipahami lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan peristiwa ketika turunnya ayat. Di sini ada perintah bagi setiap muslim berlaku amanah terhadap segala sesuatu yang dititipkan dan sesuatu yang berada dalam tanggungannya atau kekuasaannya, apakah itu berkaitan dengan hak Sang Pencipta, hak/kepentingan umat/ orang banyak atau pribadi.
Dalam riwayat tersebut terdapat etika yang luhur. Sikap amanah secara umum dipandang sebagai pengakuan terhadap berbagai hak apakah itu bersifat materi berupa barang atau harta benda maupun maknawi seperti sebuah kewajiban atau pengetahuan. Bersikap amanah merupakan kewajiban yang seyogyanya muncul dari dorongan nilai-nilai agama atau hati nurani terhadap hak orang lain yang dititipkan dalam jangka waktu tertentu disertai akad atau tidak dan itu harus disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya.
Adapun amanah berkaitan dengan Sang Pencipta, Ibnu Katsir mengutip pernyataan yang diberikan oleh Ibnu Mas’ud salah seorang sahabat Nabi bahwa amanah berkaitan dengan hak Allah pada manusia adalah mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, misalnya melaksanakan perintah seperti menjaga shalat, berbuat baik kepada orang tua, menjaga kehormatan diri dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang seperti mencuri menipu, meminum minuman keras, berjudi dan lain-lain.
Antar sesama manusia, Tuhan memberikan amanah untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik secara agama maupun norma/budaya. Dalam bekerja, apapun profesinya, seseorang memiliki amanah yang harus dijalankan sesuai profesi masing-masing. Demikian juga dengan hal yang bersifat materi/harta benda, seseorang atau kelompok wajib menjaga dan menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya secara baik atau dengan cara paling cepat dan paling mudah, tidak melakukan kecurangan baik di saat yang berhak menerima ada atau tidak.
Secara pribadi pun setiap orang mengemban amanah dalam aktivitas kehidupannya, seperti mencintai dan menjaga orang tua, mendidik anak, melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab. Karena dalam agama Islam, setiap orang adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab dengan apa yang dipimpinnya.
Amanah seperti juga perjanjian kerjasama, dimana ia harus dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab. Orang yang berilmu misalnya dititipi amanah oleh Tuhan bahkan juga manusia untuk menuntun dan membimbing masyarakat dengan ilmunya sesuai prosedur atau cara yang berlaku di masa dan tempat ia hidup. Ia tidak dibenarkan menyembunyikan kebenaran dan kebaikan ketika ia dibutuhkan. Seorang yang berilmu tidak dibenarkan menzolimi orang lain dengan pengetahuannya serta tidak membiarkan keburukan merajalela. Cara untuk mengajarkan ilmu pengetahuan di zaman sekarang di tengah masyarakat lebih mudah dan sangat beragam.
Posisi memberi fatwa, harus siap ketika terjadi berbagai peristiwa yang berhubungan dengan aqidah, hal-hal yang wajib, halal dan haram dan lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seorang ilmuwan dengan berbagai keahlian seperti sains , teknologi, sosial humaniora, kesehatan dan lainnya diserahi amanah dan tanggungjawab keilmuan masing untuk membangun dan mengembangkan serta mensejahterakan masyarakat.
Jika dilihat dalam konteks politik saat ini, bangsa Indonesia dalam menghadapi proses pergantian pemimpin. Pada semua kalangan diperlukan sikap menjaga amanah. Misalnya sebagai pemilih dituntut untuk berlaku amanah, karena diserahi amanah untuk memilih seorang pemimpin. Ia harus bertanggung jawab dan cerdas menentukan siapa yang akan dipilih untuk memimpin bangsa dan akan menyelesaikan berbagai kompleksitas persoalan bangsa Indonesia ke depan.
Seorang pemilih bisa mengetahui kelayakan seorang pemimpin melalui kriteria seorang pemimpin yang banyak dibahas misalnya mulai dari kepribadian, kecerdasan, kesehatan dan pengalaman serta rekam jejaknya dalam memimpin. Memilih yang terbaik di antara yang terbaik itu sendiri termasuk kategori amanah, karena pilihan itu menentukan arah bangsa apakah akan semakin maju atau sebaliknya.
Sebagai penanggung jawab pelaksanaan pemilu atau seluruh perangkat penyelenggara pemilu yang terlibat dalam proses atau seluruh prosedur dalam pemilu diberikan amanah dan bertanggung jawab untuk pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil dan tidak memihak. Tetap memelihara kode etik penyelenggaraan pemilu. Ketika terjadi ketidakadilan seperti jual beli suara atau pemalsuan dalam bentuk apapun, dan pelanggaran lainnya yang bisa saja dilakukan oleh masyarakat, penyelenggara, peserta atau bahkan pemerintah berarti sudah terjadi tindakan tidak menjalankan amanah, bahkan dikatakan berkhianat, karena sudah melanggar amanah yang dititipkan kepadanya untuk dijaga dan harus diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Seorang pemimpin yang terpilih diamanahkan tanggung jawab untuk memimpin bangsa dengan baik, jujur dan adil, menepati janji selama kampanye, memperhatikan hak-hak rakyat yang beragam seperti ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan dan lainnya demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa, mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan-kepentingan atau ambisi pribadi atau kelompok tertentu.
Baca juga:
- Menelusuri Jejak Rempah Kejayaan Pelabuhan Teluk Bayur
- Cara Cek Lokasi TPS Pemilu 2024, Siapkan Dokumen Ini
Imam Sya’rawi seorang ulama dari Mesir mengatakan bahwa manusia mengalami kesulitan menguasai dirinya pada waktu menjalankan amanah, meskipun dia bisa menguasai dirinya ketika mengambil amanah. Sebuah amanah adakalanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan manusia seperti di hadapan pimpinan bagi orang yang bekerja, jika ia sebagai bawahan atau secara hukum melalui pengadilan jika terjadi pelanggaran, meskipun belum menjamin keadilan itu terwujud.
Namun sesuatu yang pasti dalam ayat ini, sebuah amanah akan dipertanggungjawabkan oleh seorang hamba di hadapan Tuhannya di hari akhir nanti. Tuhan Maha Mendengar dan Maha Melihat. Semuanya kembali kepada yang terdalam pada diri manusia. apakah itu berupa dorongan nilai agama, etika berpolitik atau hati nurani. [***]
Catatan: Tulisan ini merupakan kumpulan catatan yang diambil dari beberapa orang penafsir ayat Alquran. Penulis mencoba melihat dan memahami satu ayat dari sebuah sudut pandang kondisi menghadapi momen pemilu.
Tentang Penulis: (Akademisi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Imam Bonjol –
Email: [email protected]]